AKU DAN TASAWUF
Pada semester 5 ini, aku mendapatkan mata kuliah Akhlak/Tasawuf.
Saat pertama kali mendengar nama tasawuf begitu banyak pertanyaan yang timbul
dalam fikiranku, salah satunya “apa itu tasawuf?”. Setelah aku mengikuti
langsung mata kuliah akhlak/tasawuf ini ternyata “tasawuf itu adalah suatu mata
kuliah yang mempelajari mengenai akhlak dan cara bagaimana kita mengenal Tuhan
kita”.
Banyak sekali ilmu yang aku dapatkan dari tasawuf dan tasawuf
menurutku sangat menarik karena di dalam tasawuf banyak sekali membahas
mengenai jalan menuju Tuhan atau jalan mencari ke ridhoan Tuhan. Seperti tujuan
hidup kita yang pada hakikatnya kita hidup untuk mencari ridha Allah.
Dalam hal ini banyak sekali pengertian mengenai “apa itu tasawuf?”,
dan jawaban para ahli mengenai tasawuf sangat bervariasi, Al-Jurairi mengatakan
bahwa tasawuf adalah memasuki akhlak yang sunni dan keluar dari akhlak yang
rendah. Berbeda menurut Amir Bin Usman Al-Maliki, menurutnya tasawuf adalah
seorang hamba yang setiap waktunya mengambil waktu yang utama.
Walaupun dalam hal penafsiran mengenai tasawuf berbeda-beda tapi
pada intinya adalah sama, bahwa tasawuf adalah ilmu yang mempelajari usaha
membersihkan diri, berjuang memerangi hawa nafsu, berpegang teguh pada janji
Allah dan mengikuti syariat Rasulullah, saling menasehati antar sesama manusia
dalam rangka ma’rifatullah mencapai ridho Allah. Yah jalan menuju ridho Allah
melalui tasawuf dan aku sedang berusaha dengan hal itu.
Imam Malik berkata “barang siapa yang berilmu fiqih tanpa tasawuf
dia akan fasik, barang siapa bertasawuf tanpa ilmu fiqih dia adalah kafir zindik,
barang siapa berilmu fiqih dan tasawuf dialah yang tepat.” Dari perkataan Imam
Malik dapat aku simpulkan, sesungguhnya seseorang sebelum mengenal tasawuf
harus terlebih dulu mengenal fiqih. Jika kita langsung mengenal tasawuf tanpa
mengenal fiqih kita akan tersesat tak tahu arah. “apa itu fiqih?”, fiqih adalah
ilmu tentang hukum syara’ tentang perbuatan manusia (amaliah) yang diperoleh
melalui dalil-dalilnya yang terperinci.
Sufi dalam tasawuf sangat terkenal, sufi menurut pandanganku yaitu
orang yang selalu berpakaian serba panjang seperti jubbah dan berwarna putih,
memiliki janggut panjangnya bisa menutupi leher, wajahnya bersih dan selalu
mengerjakan perintah Allah dan menjauhi semua larangan Allah. Yang aku
bingungkan, “kenapa seorang sufi itu harus berpenampilan seperti itu?.” Sufi
juga identik dengan kesederhanaannya, seorang sufi rela meninggalkan semua
hartanya demi menjadi seorang sufi dan hidup dengan kesederhanaannya. Karena
menurut mereka harta yang mereka miliki hanya akan menjauhkannya dari Allah.
Yang membuatku bingung lagi, setelah mereka maninggalkan semua harta mereka
kemudian mereka akan hidup dengan apa?. Padahal menurut aku tidak harus seperti
itu juga, kita bisa memanfaatkan harta yang kita miliki untuk hal-hal yang baik,
yang pasti dimanfaatkan dijalan Allah.
Saat aku membaca buku road to Allah karangan Jalaluddin Rakhmat ada
satu kisah yang berjudul tasawuf sejati di dalamnya diceritakan ada seorang
Imam besar yaitu Imam ja’far Al-Shadiq Suatu
ketika Al-Tsauri mendapati Imam Ja’far dalam pakaian yang putih gemerlap,
tampak baginya sangat mewah. Ia merasa Imam yang terkenal sangat saleh dan
Zahid tidak pantas untuk memakai pakaian seperti itu. Ia berkata, “busana ini
bukanlah pakainmu!”.
Imam
berkata, “Dengarkan aku dan simak apa yang akan aku katakan kepadamu. Apa yang
akan aku ucapkan ini baik bagimu sekarang dan pada waktu yang akan datang. Jika
kamu ingin mati dalam sunnah dan kebenaran dan bukan mati di atas bid’ah. Aku
beritakan kepadamu bahwa Rasulullah SAW hidup pada zaman kemiskinan yang
sangat. Ketika dunia datang, orang yang paling berhak untuk manfaatkannya
adalah orang-orang salehnya, bukan orang-orang durhakanya; orang-orang mukminnya,
bukan orang-orang munafiknya. Orang-orang islamnya, bukan orang-orang kafirnya.
Apa yang akan kau ingkari, hai Al-Tsauri? Demi Allah, walaupun kamu lihat aku
dalam keadaan ini sejak pagi dan sore, jika dalam hartaku ada hak yang harus
aku berikan pada tempatnya, pastilah aku sudah memberikannya semata-mata karena
Allah.”
Imam
Ja’far menunjukkan dengan argumentasinya bahwa tasawuf sejati bukan tidak
memiliki dunia, tetapi tidak dimiliki dunia. Sufi bukan berarti tidak mempunyai
apa-apa, melainkan tidak dipunyai
apa-apa. Seorang sufi boleh saja, malah mungkin harus memiliki kekayaan yang
banyak. Tetapi ia tidak meletakkan kebahagiaan pada kekayaannya. Itulah seorang
sufi yang terus berjuang menegakkan keadilan, amar ma’ruf nahi munkar.
“barang
siapa yang mengenal dirinya sendiri berarti ia mengenal Tuhannya”. Mungkin
disini aku belum bisa mengenal diriku sendiri sehingga aku belum bisa mengenal
Tuhanku yaitu Allah. Dengan adanya tasawuf sangat membantu aku dalam meluruskan
tujuan hidupku dan lebih mengenal Allah melalui diriku sendiri. Tasawuf pada
intinya berusaha mendekatkan diri kita dengan Allah SWT dan Allah hanya dapat
didekati dengan akhlak yang baik.
Al-Qur’an
surat Faathir ayat 5 yang artinya “hai manusia sesungguhnya janji Allah adalah
benar maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan
sekali-kali janganlah syaitan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang
Allah.”