Kamis, 06 Februari 2014

Aku dan Tasawuf



AKU DAN TASAWUF
Pada semester 5 ini, aku mendapatkan mata kuliah Akhlak/Tasawuf. Saat pertama kali mendengar nama tasawuf begitu banyak pertanyaan yang timbul dalam fikiranku, salah satunya “apa itu tasawuf?”. Setelah aku mengikuti langsung mata kuliah akhlak/tasawuf ini ternyata “tasawuf itu adalah suatu mata kuliah yang mempelajari mengenai akhlak dan cara bagaimana kita mengenal Tuhan kita”. 

Banyak sekali ilmu yang aku dapatkan dari tasawuf dan tasawuf menurutku sangat menarik karena di dalam tasawuf banyak sekali membahas mengenai jalan menuju Tuhan atau jalan mencari ke ridhoan Tuhan. Seperti tujuan hidup kita yang pada hakikatnya kita hidup untuk mencari ridha Allah.

Dalam hal ini banyak sekali pengertian mengenai “apa itu tasawuf?”, dan jawaban para ahli mengenai tasawuf sangat bervariasi, Al-Jurairi mengatakan bahwa tasawuf adalah memasuki akhlak yang sunni dan keluar dari akhlak yang rendah. Berbeda menurut Amir Bin Usman Al-Maliki, menurutnya tasawuf adalah seorang hamba yang setiap waktunya mengambil waktu yang utama. 

Walaupun dalam hal penafsiran mengenai tasawuf berbeda-beda tapi pada intinya adalah sama, bahwa tasawuf adalah ilmu yang mempelajari usaha membersihkan diri, berjuang memerangi hawa nafsu, berpegang teguh pada janji Allah dan mengikuti syariat Rasulullah, saling menasehati antar sesama manusia dalam rangka ma’rifatullah mencapai ridho Allah. Yah jalan menuju ridho Allah melalui tasawuf dan aku sedang berusaha dengan hal itu.

Imam Malik berkata “barang siapa yang berilmu fiqih tanpa tasawuf dia akan fasik, barang siapa bertasawuf tanpa ilmu fiqih dia adalah kafir zindik, barang siapa berilmu fiqih dan tasawuf dialah yang tepat.” Dari perkataan Imam Malik dapat aku simpulkan, sesungguhnya seseorang sebelum mengenal tasawuf harus terlebih dulu mengenal fiqih. Jika kita langsung mengenal tasawuf tanpa mengenal fiqih kita akan tersesat tak tahu arah. “apa itu fiqih?”, fiqih adalah ilmu tentang hukum syara’ tentang perbuatan manusia (amaliah) yang diperoleh melalui dalil-dalilnya yang terperinci. 

Sufi dalam tasawuf sangat terkenal, sufi menurut pandanganku yaitu orang yang selalu berpakaian serba panjang seperti jubbah dan berwarna putih, memiliki janggut panjangnya bisa menutupi leher, wajahnya bersih dan selalu mengerjakan perintah Allah dan menjauhi semua larangan Allah. Yang aku bingungkan, “kenapa seorang sufi itu harus berpenampilan seperti itu?.” Sufi juga identik dengan kesederhanaannya, seorang sufi rela meninggalkan semua hartanya demi menjadi seorang sufi dan hidup dengan kesederhanaannya. Karena menurut mereka harta yang mereka miliki hanya akan menjauhkannya dari Allah. Yang membuatku bingung lagi, setelah mereka maninggalkan semua harta mereka kemudian mereka akan hidup dengan apa?. Padahal menurut aku tidak harus seperti itu juga, kita bisa memanfaatkan harta yang kita miliki untuk hal-hal yang baik, yang pasti  dimanfaatkan dijalan Allah. 

Saat aku membaca buku road to Allah karangan Jalaluddin Rakhmat ada satu kisah yang berjudul tasawuf sejati di dalamnya diceritakan ada seorang Imam besar yaitu Imam ja’far Al-Shadiq  Suatu ketika Al-Tsauri mendapati Imam Ja’far dalam pakaian yang putih gemerlap, tampak baginya sangat mewah. Ia merasa Imam yang terkenal sangat saleh dan Zahid tidak pantas untuk memakai pakaian seperti itu. Ia berkata, “busana ini bukanlah pakainmu!”. 

Imam berkata, “Dengarkan aku dan simak apa yang akan aku katakan kepadamu. Apa yang akan aku ucapkan ini baik bagimu sekarang dan pada waktu yang akan datang. Jika kamu ingin mati dalam sunnah dan kebenaran dan bukan mati di atas bid’ah. Aku beritakan kepadamu bahwa Rasulullah SAW hidup pada zaman kemiskinan yang sangat. Ketika dunia datang, orang yang paling berhak untuk manfaatkannya adalah orang-orang salehnya, bukan orang-orang durhakanya; orang-orang mukminnya, bukan orang-orang munafiknya. Orang-orang islamnya, bukan orang-orang kafirnya. Apa yang akan kau ingkari, hai Al-Tsauri? Demi Allah, walaupun kamu lihat aku dalam keadaan ini sejak pagi dan sore, jika dalam hartaku ada hak yang harus aku berikan pada tempatnya, pastilah aku sudah memberikannya semata-mata karena Allah.”

Imam Ja’far menunjukkan dengan argumentasinya bahwa tasawuf sejati bukan tidak memiliki dunia, tetapi tidak dimiliki dunia. Sufi bukan berarti tidak mempunyai apa-apa,  melainkan tidak dipunyai apa-apa. Seorang sufi boleh saja, malah mungkin harus memiliki kekayaan yang banyak. Tetapi ia tidak meletakkan kebahagiaan pada kekayaannya. Itulah seorang sufi yang terus berjuang menegakkan keadilan, amar ma’ruf nahi munkar. 

“barang siapa yang mengenal dirinya sendiri berarti ia mengenal Tuhannya”. Mungkin disini aku belum bisa mengenal diriku sendiri sehingga aku belum bisa mengenal Tuhanku yaitu Allah. Dengan adanya tasawuf sangat membantu aku dalam meluruskan tujuan hidupku dan lebih mengenal Allah melalui diriku sendiri. Tasawuf pada intinya berusaha mendekatkan diri kita dengan Allah SWT dan Allah hanya dapat didekati dengan akhlak yang baik. 

Al-Qur’an surat Faathir ayat 5 yang artinya “hai manusia sesungguhnya janji Allah adalah benar maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syaitan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah.”